BAB
I
1.1.
Latar Belakang
Epilepsi
merupakan salah satu penyakit neurologis yang utama. Pada dasarnya epilepsi
merupakan suatu penyakit Susunan Saraf Pusat (SSP) yang timbul akibat adanya
ketidak seimbangan polarisasi listrik di otak. Ketidak seimbangan polarisasi
listrik tersebut terjadi akibat adanya fokus-fokus iritatif pada neuron
sehingga menimbulkan letupan muatan listrik spontan yang berlebihan dari
sebagian atau seluruh daerah yang ada di dalam otak. Epilepsi sering dihubungkan
dengan disabilitas fisik, disabilitas mental, dan konsekuensi psikososial yang
berat bagi penyandangnya (pendidikan yang rendah, pengangguran yang tinggi,
stigma sosial, rasa rendah diri, kecenderungan tidak menikah bagi
penyandangnya).
Sebagian
besar kasus epilepsi dimulai pada masa anak-anak. Pada tahun 2000, diperkirakan
penyandang epilepsi di seluruh dunia berjumlah 50 juta orang, 37 juta orang di
antaranya adalah epilepsi primer, dan 80% tinggal di negara berkembang. Laporan
WHO (2001) memperkirakan bahwa rata-rata terdapat 8,2 orang penyandang epilepsi
aktif di antara 1000 orang penduduk, dengan angka insidensi 50 per 100.000
penduduk. Angka prevalensi dan insidensi diperkirakan lebih tinggi di
negara-negara berkembang.
Epilepsi
dihubungkan dengan angka cedera yang tinggi, angka kematian yang tinggi, stigma
sosial yang buruk, ketakutan, kecemasan, gangguan kognitif, dan gangguan
psikiatrik. Pada penyandang usia anak-anak dan remaja, permasalahan yang
terkait dengan epilepsi menjadi lebih kompleks.
Penyandang
epilepsi pada masa anak dan remaja dihadapkan pada masalah keterbatasan
interaksi sosial dan kesulitan dalam mengikuti pendidikan formal. Mereka
memiliki risiko lebih besar terhadap terjadinya kecelakaan dan kematian yang
berhubungan dengan epilepsi. Permasalahan yang muncul adalah bagaimana dampak
epilepsi terhadap berbagai aspek kehidupan penyandangnya. Masalah yang muncul
adalah bagaimana hal tersebut bisa muncul, bagaimana manifestasinya dan
bagaimana penanganan yang dapat dilakukan untuk kasus ini masih memerlukan
kajian yang lebih mendalam.
Penanganan
terhadap penyakit ini bukan saja menyangkut penanganan medikamentosa dan
perawatan belaka, namun yang lebih penting adalah bagaimana
meminimalisasikan dampak yang muncul akibat penyakit ini bagi penderita
dan keluarga maupun merubah stigma masyarakat tentang penderita epilepsi.
Pemahaman epilepsi secara menyeluruh sangat diperlukan oleh seorang perawat
sehingga nantinya dapat ditegakkan asuhan keperawatan yang tepat bagi klien
dengan epilepsi.
1.2.
Rumusan Masalah
Bagaimanakah
konsep teori dan asuhan keperawatan yang tepat pada epilepsi?
1.3.
Tujuan Umum
Mahasiswa
mengetahui bagaimana konsep teori serta asuhan keperawatan yang tepat untuk
klien dengan epilepsi.
1.4.
Tujuan Khusus
1.4.1.
Mahasiswa megetahui definisi Epilepsy.
1.4.2.
Mahasiswa mengetahui etiologi Epilepsi.
1.4.3.
Mahasiswa megetahui patofisiologi Epilepsy.
1.4.4.
Mahasiswa mengetahui klasifikasi kejang pada Epilepsy.
1.4.5.
Mahasiswa megetahui manifestasi klinis dan perilaku pada Epilepsy.
1.4.6.
Mahasiswa megetahui pemeriksaan diagnostic pada Epilepsy.
1.4.7.
Mahasiswa megetahui penatalaksanaannya Epilepsy
1.4.8.
Mahasiswa megetahui pencegahan pada Epilepsy.
1.4.9.
Mahasiswa mengetahui pengobatan pada Epilepsy.
1.4.10.
Mahasiswa mengetahui prognosis pada Epilepsy.
1.4.11.
Mengetahui Web of caution (WOC) pada Epilepsy.
1.4.12.
Mengetahui asuhan keperawatan yang tepat pada klien yang menderita Epilepsy.
1.5.
Manfaat
1.5.1.
Menambah pengetahuan mahasiswa tentang definisi Epilepsy.
1.5.2.
Menambah pengetahuan mahasiswa tentang etiologi Epilepsy.
1.5.3.
Menambah pengetahuan mahasiswa tentang patofisiologi Epilepsy.
1.5.4.
Menambah pengetahuan mahasiswa tentang klasifikasi kejang pada Epilepsy.
1.5.5.
Menambah pengetahuan mahasiswa tentang manifestasi klinis dan perilaku
pada Epilepsy.
1.5.6.
Menambah pengetahuan mahasiswa tentang pemeriksaan diagnostik Epilepsy.
1.5.7.
Menambah pengetahuan mahasiswa tentang penatalaksanaan Epilepsy.
1.5.8.
Menambah pengetahuan mahasiswa tentang pencegahan Epilepsy.
1.5.9.
Menambah pengetahuan mahasiswa tentang pengobatan Epilepsy.
1.5.10.
Menambah pengetahuan mahasiswa tentang prognosis Epilepsy.
1.5.11.
Memberi pengetahuan tentang Web of caution (WOC) pada
epilepsy
1.5.12.
Memberi pengetahuan tentang asuhan keperawatan yang tepat pada klien yang
menderita epilepsi.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1.
Definisi
Epilepsi
merupakan sindrom yang ditandai oleh kejang yang terjadi berulang- ulang.
Diagnose ditegakkan bila seseorang mengalami paling tidak dua kali kejang tanpa
penyebab (Jastremski, 1988).
Epilepsi
adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang berulang akibat
lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersivat reversibel (Tarwoto,
2007).
Epilepsi
adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang datang
dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan listrik
abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi
(Arif, 2000).
Epilepsi
adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi dengan ciri-ciri
timbulnya serangan paroksismal dan berkala akibat lepas muatan listrik
neuron-neuron otak secara berlebihan dengan berbagai manifestasi klinik dan
laboratorik.
2.2.
Etiologi
Penyebab
pada kejang epilepsi sebagian besar belum diketahui (idiopatik), sering terjadi
pada:
- Trauma lahir, Asphyxia neonatorum
- Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf
- Keracunan CO, intoksikasi obat/alkohol
- Demam, ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)
- Tumor Otak
- Kelainan pembuluh darah (Tarwoto, 2007).
Faktor
etiologi berpengaruh terhadap penentuan prognosis. Penyebab utama, ialah
epilepsi idopatik, remote simtomatik epilepsi (RSE), epilepsi simtomatik akut,
dan epilepsi pada anak-anak yang didasari oleh kerusakan otak pada saat peri-
atau antenatal. Dalam klasifikasi tersebut ada dua jenis epilepsi menonjol,
ialah epilepsi idiopatik dan RSE. Dari kedua tersebut terdapat banyak etiologi
dan sindrom yang berbeda, masing-masing dengan prognosis yang baik dan yang
buruk.
Dipandang
dari kemungkinan terjadinya bangkitan ulang pasca-awitan, definisi neurologik
dalam kaitannya dengan umur saat awitan mempunyai nilai prediksi sebagai
berikut:
Apabila
pada saat lahir telah terjadi defisit neurologik maka dalam waktu 12 bulan
pertama seluruh kasus akan mengalami bangkitan ulang, Apabila defisit
neurologik terjadi pada saat pascalahir maka resiko terjadinya bangkitan ulang
adalah 75% pada 12 bulan pertama dan 85% dalam 36 bulan pertama. Kecuali itu,
bangkitan pertama yang terjadi pada saat terkena gangguan otak akut akan
mempunyai resiko 40% dalam 12 bulan pertama dan 36 bulan pertama untuk
terjadinya bangkitan ulang. Secara keseluruhan resiko untuk terjadinya
bangkitan ulang tidak konstan. Sebagian besar kasus menunjukan bangkitan ulang
dalam waktu 6 bulan pertama.
Perubahan
bisa terjadi pada awal saat otak janin mulai berkembang, yakni pada bulan
pertama dan kedua kehamilan. Dapat pula diakibatkan adanya gangguan pada ibu
hamil muda seperti infeksi, demam tinggi, kurang gizi (malnutrisi) yang bisa
menimbulkan bekas berupa kerentanan untuk terjadinya kejang. Proses persalinan
yang sulit, persalinan kurang bulan atau telat bulan (serotinus) mengakibatkan
otak janin sempat mengalami kekurangan zat asam dan ini berpotensi menjadi
''embrio'' epilepsi. Bahkan bayi yang tidak segera menangis saat lahir atau
adanya gangguan pada otak seperti infeksi/radang otak dan selaput otak, cedera
karena benturan fisik/trauma serta adanya tumor otak atau kelainan pembuluh
darah otak juga memberikan kontribusi terjadinya epilepsi.
Tabel
01. Penyebab- penyebab kejang pada epilepsi
|
|
Bayi
(0- 2 th)
|
Hipoksia
dan iskemia paranatal
Cedera
lahir intrakranial
Infeksi
akut
Gangguan
metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hipomagnesmia, defisiensi piridoksin)
Malformasi
kongenital
Gangguan
genetic
|
Anak
(2- 12 th)
|
Idiopatik
Infeksi
akut
Trauma
Kejang
demam
|
Remaja
(12- 18 th)
|
Idiopatik
Trauma
Gejala
putus obat dan alcohol
Malformasi
anteriovena
|
Dewasa
Muda (18- 35 th)
|
Trauma
Alkoholisme
Tumor
otak
|
Dewasa
lanjut (> 35)
|
Tumor
otak
Penyakit
serebrovaskular
Gangguan
metabolik (uremia, gagal hepatik, dll )
Alkoholisme
|
2.3.Patofisiologi
Otak
merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus merupakan pusat
pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah rangkaian berjuta-juta neuron. Pada
hakekatnya tugas neuron ialah menyalurkan dan mengolah aktivitas listrik saraf
yang berhubungan satu dengan yang lain melalui sinaps. Dalam sinaps terdapat
zat yang dinamakan neurotransmiter. Asetilkolin dan norepinerprine ialah neurotranmiter
eksitatif, sedangkan zat lain yakni GABA (gama-amino-butiric-acid) bersifat
inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik sarafi dalam sinaps. Bangkitan
epilepsi dicetuskan oleh suatu sumber gaya listrik di otak yang dinamakan fokus
epileptogen. Dari fokus ini aktivitas listrik akan menyebar melalui sinaps dan
dendrit ke neron-neron di sekitarnya dan demikian seterusnya sehingga seluruh
belahan hemisfer otak dapat mengalami muatan listrik berlebih (depolarisasi).
Pada keadaan demikian akan terlihat kejang yang mula-mula setempat selanjutnya
akan menyebar ke bagian tubuh/anggota gerak yang lain pada satu sisi tanpa
disertai hilangnya kesadaran. Dari belahan hemisfer yang mengalami
depolarisasi, aktivitas listrik dapat merangsang substansia retikularis dan
inti pada talamus yang selanjutnya akan menyebarkan impuls-impuls ke belahan
otak yang lain dan dengan demikian akan terlihat manifestasi kejang umum yang
disertai penurunan kesadaran.
Selain
itu, epilepsi juga disebabkan oleh instabilitas membran sel saraf, sehingga sel
lebih mudah mengalami pengaktifan. Hal ini terjadi karena adanya influx natrium
ke intraseluler. Jika natrium yang seharusnya banyak di luar membrane sel itu
masuk ke dalam membran sel sehingga menyebabkan ketidakseimbangan ion yang
mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis
kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan
keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter
aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Kejang
terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus
kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik.
Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi muatan yang berlebihan tersebut.
Lesi di otak tengah, talamus, dan korteks serebrum kemungkinan besar bersifat
apileptogenik, sedangkan lesi di serebrum dan batang otak umumnya tidak memicu
kejang. Di tingkat membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan beberapa
fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut :
1)
Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan.
2)
Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun dan
apabila terpicu akan melepaskan muatan menurun secara berlebihan.
3)
Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu
dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi
asam gama-aminobutirat (GABA).
4)
Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit,
yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan
depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan
berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Perubahan-perubahan
metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang sebagian disebabkan
oleh meningkatkannya kebutuhan energi akibat hiperaktivitas neuron. Selama
kejang, kebutuhan metabolik secara drastis meningkat, lepas muatan listrik
sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak
meningkat, demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul
di cairan serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamat
mungkin mengalami deplesi (proses berkurangnya cairan atau darah dalam tubuh
terutama karena pendarahan; kondisi yang diakibatkan oleh kehilangan cairan
tubuh berlebihan) selama aktivitas kejang.
Secara
umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti histopatologik
menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat neurokimiawi bukan struktural.
Belum ada faktor patologik yang secara konsisten ditemukan. Kelainan fokal pada
metabolisme kalium dan asetilkolin dijumpai di antara kejang. Fokus kejang
tampaknya sangat peka terhadap asetikolin, suatu neurotransmitter
fasilitatorik, fokus-fokus tersebut lambat mengikat dan menyingkirkan
asetilkolin.
2.4.
Klasifikasi Kejang
2.4.1.
Berdasarkan penyebabnya
- epilepsi idiopatik : bila tidak di ketahui penyebabnya
- epilepsi simtomatik : bila ada penyebabnya
2.4.2.
Berdasarkan letak focus epilepsi atau tipe bangkitan
- Epilepsi partial (lokal, fokal)
1)
Epilepsi parsial sederhana, yaitu epilepsi parsial dengan kesadaran tetap
normal
Dengan
gejala motorik
-
Fokal motorik tidak menjalar: epilepsi terbatas pada satu bagian tubuh saja
-
Fokal motorik menjalar : epilepsi dimulai dari satu bagian tubuh dan menjalar
meluas ke daerah lain. Disebut juga epilepsi Jackson.
-
Versif : epilepsi disertai gerakan memutar kepala, mata, tuibuh.
-
Postural : epilepsi disertai dengan lengan atau tungkai kaku dalam sikap
tertentu
-
Disertai gangguan fonasi : epilepsi disertai arus bicara yang terhenti atau
pasien mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu
Dengan
gejala somatosensoris atau sensoris spesial (epilepsi disertai halusinasi
sederhana yang mengenai kelima panca indera dan bangkitan yang disertai
vertigo).
-
Somatosensoris: timbul rasa kesemuatan atau seperti ditusuk-tusuk jarum.
-
Visual : terlihat cahaya
-
Auditoris : terdengar sesuatu
-
Olfaktoris : terhidu sesuatu
-
Gustatoris : terkecap sesuatu
-
Disertai vertigo
Dengan
gejala atau tanda gangguan saraf otonom (sensasi epigastrium, pucat,
berkeringat, membera, piloereksi, dilatasi pupil).
Dengan
gejala psikis (gangguan fungsi luhur)
-
Disfagia : gangguan bicara, misalnya mengulang suatu suku kata, kata atau
bagian kalimat.
-
Dimensia : gangguan proses ingatan misalnya merasa seperti sudah mengalami,
mendengar, melihat, atau sebaliknya. Mungkin mendadak mengingat suatu peristiwa
di masa lalu, merasa seperti melihatnya lagi.
-
Kognitif : gangguan orientasi waktu, merasa diri berubah.
-
Afektif : merasa sangat senang, susah, marah, takut.
-
Ilusi : perubahan persepsi benda yang dilihat tampak lebih kecil atau lebih
besar.
-
Halusinasi kompleks (berstruktur) : mendengar ada yang bicara, musik, melihat
suatu fenomena tertentu, dll.
2)
Epilepsi parsial kompleks, yaitu kejang disertai gangguan kesadaran.
Serangan
parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran : kesadaran mula-mula baik
kemudian baru menurun.
-
Dengan gejala parsial sederhana A1-A4. Gejala-gejala seperti pada golongan
A1-A4 diikuti dengan menurunnya kesadaran.
-
Dengan automatisme. Yaitu gerakan-gerakan, perilaku yang timbul dengan
sendirinya, misalnya gerakan mengunyah, menelan, raut muka berubah seringkali
seperti ketakutan, menata sesuatu, memegang kancing baju, berjalan, mengembara
tak menentu, dll.
Dengan
penurunan kesadaran sejak serangan; kesadaran menurun sejak permulaan
kesadaran.
-
Hanya dengan penurunan kesadaran
-
Dengan automatisme
3)
Epilepsi Parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum (tonik-klonik, tonik,
klonik).
Epilepsi
parsial sederhana yang berkembang menjadi bangkitan umum.
Epilepsi
parsial kompleks yang berkembang menjadi bangkitan umum.
Epilepsi
parsial sederhana yang menjadi bangkitan parsial kompleks lalu berkembang
menjadi bangkitan umum.
- Epilepsi umum
1)
Petit mal/ Lena (absence)
Lena
khas (tipical absence)
Pada
epilepsi ini, kegiatan yang sedang dikerjakan terhenti, muka tampak membengong,
bola mata dapat memutar ke atas, tak ada reaksi bila diajak bicara. Biasanya
epilepsi ini berlangsung selama ¼ – ½ menit dan biasanya dijumpai pada anak.
-
Hanya penurunan kesadaran
-
Dengan komponen klonik ringan. Gerakan klonis ringan, biasanya dijumpai pada
kelopak mata atas, sudut mulut, atau otot-otot lainnya bilateral.
-
Dengan komponen atonik. Pada epilepsi ini dijumpai otot-otot leher, lengan,
tangan, tubuh mendadak melemas sehingga tampak mengulai.
-
Dengan komponen klonik. Pada epilepsi ini, dijumpai otot-otot ekstremitas,
leher atau punggung mendadak mengejang, kepala, badan menjadi melengkung ke belakang,
lengan dapat mengetul atau mengedang.
-
Dengan automatisme
-
Dengan komponen autonom.
Lena
tak khas (atipical absence)
Dapat
disertai:
-
Gangguan tonus yang lebih jelas.
-
Permulaan dan berakhirnya bangkitan tidak mendadak.
2)
Grand Mal
Mioklonik
Pada
epilepsi mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat kuat atau lemah
sebagian otot atau semua otot, seringkali atau berulang-ulang. Bangkitan ini
dapat dijumpai pada semua umur.
Klonik
Pada
epilepsi ini tidak terjadi gerakan menyentak, repetitif, tajam, lambat, dan
tunggal multiple di lengan, tungkai atau torso. Dijumpai terutama sekali pada
anak.
Tonik
Pada
epilepsi ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya menjadi kaku pada wajah
dan bagian tubuh bagian atas, flaksi lengan dan ekstensi tungkai. Epilepsi ini
juga terjadi pada anak.
Tonik-
klonik
Epilepsi
ini sering dijumpai pada umur di atas balita yang terkenal dengan nama grand
mal. Serangan dapat diawali dengan aura, yaitu tanda-tanda yang mendahului
suatu epilepsi. Pasien mendadak jatuh pingsan, otot-otot seluruh badan kaku.
Kejang kaku berlangsung kira-kira ¼ – ½ menit diikutti kejang kejang kelojot
seluruh tubuh. Bangkitan ini biasanya berhenti sendiri. Tarikan napas menjadi
dalam beberapa saat lamanya. Bila pembentukan ludah ketika kejang meningkat,
mulut menjadi berbusa karena hembusan napas. Mungkin pula pasien kencing ketika
mendapat serangan. Setelah kejang berhenti pasien tidur beberapa lamanya, dapat
pula bangun dengan kesadaran yang masih rendah, atau langsung menjadi sadar
dengan keluhan badan pegal-pegal, lelah, nyeri kepala.
Atonik
Pada
keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak melemas sehingga pasien terjatuh.
Kesadaran dapat tetap baik atau menurun sebentar. Epilepsi ini terutama sekali
dijumpai pada anak.
- Epilepsi tak tergolongkan
Termasuk
golongan ini ialah bangkitan pada bayi berupa gerakan bola mata yang ritmik,
mengunyah, gerakan seperti berenang, menggigil, atau pernapasan yang mendadak
berhenti sederhana.
2.5.
Manifestasi Klinis dan Perilaku
a)
Manifestasi klinik dapat berupa kejang-kejang, gangguan kesadaran atau gangguan
penginderaan
b)
Kelainan gambaran EEG
c)
Bagian tubuh yang kejang tergantung lokasi dan sifat fokus epileptogen
d)
Dapat mengalami aura yaitu suatu sensasi tanda sebelum kejang
epileptik (aura dapat berupa perasaan tidak enak, melihat sesuatu, mencium
bau-bauan tidak enak, mendengar suara gemuruh, mengecap sesuatu, sakit kepala
dan sebagainya)
e)
Napas terlihat sesak dan jantung berdebar
f)
Raut muka pucat dan badannya berlumuran keringat
g)
Satu jari atau tangan yang bergetar, mulut tersentak dengan gejala sensorik
khusus atau somatosensorik seperti: mengalami sinar, bunyi, bau atau rasa yang
tidak normal seperti pada keadaan normal
h)
Individu terdiam tidak bergerak atau bergerak secara automatik, dan terkadang
individu tidak ingat kejadian tersebut setelah episode epileptikus tersebut
lewat
i)
Di saat serangan, penyandang epilepsi terkadang juga tidak dapat berbicara
secara tiba- tiba
j)
Kedua lengan dan tangannya kejang, serta dapat pula tungkainya menendang-
menendang
k)
Gigi geliginya terkancing
l)
Hitam bola matanya berputar- putar
m)
Terkadang keluar busa dari liang mulut dan diikuti dengan buang air kecil
Di
saat serangan, penyandang epilepsi tidak dapat bicara secara tiba-tiba.
Kesadaran menghilang dan tidak mampu bereaksi terhadap rangsangan. Tidak ada
respon terhadap rangsangan baik rangsang pendengaran, penglihatan, maupun
rangsang nyeri. Badan tertarik ke segala penjuru. Kedua lengan dan tangannya
kejang, sementara tungkainya menendang-nendang. Gigi geliginya terkancing.
Hitam bola mata berputar-putar. Dari liang mulut keluar busa. Napasnya sesak
dan jantung berdebar. Raut mukanya pucat dan badannya berlumuran keringat.
Terkadang diikuti dengan buang air kecil. Manifestasi tersebut dimungkinkan
karena terdapat sekelompok sel-sel otak yang secara spontan, di luar kehendak,
tiba-tiba melepaskan muatan listrik. Zainal Muttaqien (2001) mengatakan keadaan
tersebut bisa dikarenakan oleh adanya perubahan, baik perubahan anatomis maupun
perubahan biokimiawi pada sel-sel di otak sendiri atau pada lingkungan sekitar
otak. Terjadinya perubahan ini dapat diakibatkan antara lain oleh trauma fisik,
benturan, memar pada otak, berkurangnya aliran darah atau zat asam akibat
penyempitan pembuluh darah atau adanya pendesakan/rangsangan oleh tumor.
Perubahan yang dialami oleh sekelompok sel-sel otak yang nantinya menjadi biang
keladi terjadinya epilepsi diakibatkan oleh berbagai faktor.
2.6.
Pemeriksaan Diagnostik
a)
CT Scan dan Magnetik resonance imaging (MRI) untuk mendeteksi lesi pada otak,
fokal abnormal, serebrovaskuler abnormal, gangguan degeneratif serebral.
Epilepsi simtomatik yang didasari oleh kerusakan jaringan otak yang tampak
jelas pada CT scan atau magnetic resonance imaging (MRI) maupun kerusakan otak
yang tak jelas tetapi dilatarbelakangi oleh masalah antenatal atau perinatal
dengan defisit neurologik yang jelas
b)
Elektroensefalogram(EEG) untuk mengklasifikasi tipe kejang, waktu serangan
c)
Kimia darah: hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol darah.
-
mengukur kadar gula, kalsium dan natrium dalam darah
-
menilai fungsi hati dan ginjal
-
menghitung jumlah sel darah putih (jumlah yang meningkat menunjukkan adanya
infeksi).
-
Pungsi lumbal utnuk mengetahui apakah telah terjadi infeksi otak
2.7.
Penatalaksanaan
Manajemen
Epilepsi :
a)
Pastikan diagnosa epilepsi dan mengadakan explorasi etiologi dari epilepsi
b)
Melakukan terapi simtomatik
c)
Dalam memberikan terapi anti epilepsi yang perlu diingat sasaran pengobatan
yang dicapai, yakni:
-
Pengobatan harus di berikan sampai penderita bebas serangan.
-
Pengobatan hendaknya tidak mengganggu fungsi susunan syaraf pusat yang normal.
-
Penderita dpat memiliki kualitas hidup yang optimal.
Penatalaksanaan
medis ditujukan terhadap penyebab serangan. Jika penyebabnya adalah akibat
gangguan metabolisme (hipoglikemia, hipokalsemia), perbaikan gangguan
metabolism ini biasanya akan ikut menghilangkan serangan itu.
Pengendalian
epilepsi dengan obat dilakukan dengan tujuan mencegah serangan. Ada empat obat
yang ternyata bermanfaat untuk ini: fenitoin (difenilhidantoin), karbamazepin,
fenobarbital, dan asam valproik. Kebanyakan pasien dapat dikontrol dengan salah
satu dari obat tersebut di atas.
Cara
menanggulangi kejang epilepsi :
1.
Selama Kejang
a)
Berikan privasi dan perlindungan pada pasien dari penonton yang ingin tahu
b)
Mengamankan pasien di lantai jika memungkinkan
c)
Hindarkan benturan kepala atau bagian tubuh lainnya dari bendar keras, tajam
atau panas. Jauhkan ia dari tempat / benda berbahaya.
d)
Longgarkan bajunya. Bila mungkin, miringkan kepalanya kesamping untuk mencegah
lidahnya menutupi jalan pernapasan.
e)
Biarkan kejang berlangsung. Jangan memasukkan benda keras diantara giginya,
karena dapat mengakibatkan gigi patah. Untuk mencegah gigi klien melukai lidah,
dapat diselipkan kain lunak disela mulut penderita tapi jangan sampai menutupi
jalan pernapasannya.
f)
Ajarkan penderita untuk mengenali tanda2 awal munculnya epilepsi atau yg biasa
disebut "aura". Aura ini bisa ditandai dengan sensasi aneh seperti perasaan
bingung, melayang2, tidak fokus pada aktivitas, mengantuk, dan mendengar bunyi
yang melengking di telinga. Jika Penderita mulai merasakan aura, maka sebaiknya
berhenti melakukan aktivitas apapun pada saat itu dan anjurkan untuk langsung
beristirahat atau tidur.
g)
Bila serangan berulang-ulang dalam waktu singkat atau penyandang terluka berat,
bawa ia ke dokter atau rumah sakit terdekat.
2.
Setelah Kejang
a)
Penderita akan bingung atau mengantuk setelah kejang terjadi.
b)
Pertahankan pasien pada salah satu sisi untuk mencegah aspirasi. Yakinkan bahwa
jalan napas paten.
c)
Biasanya terdapat periode ekonfusi setelah kejang grand mal
d)
Periode apnea pendek dapat terjadi selama atau secara tiba- tiba setelah kejang
e)
Pasien pada saaat bangun, harus diorientasikan terhadap lingkungan
f)
Beri penderita minum untuk mengembalikan energi yg hilang selama kejang dan
biarkan penderita beristirahat.
g)
Jika pasien mengalami serangan berat setelah kejang (postiktal), coba untuk
menangani situasi dengan pendekatan yang lembut dan member restrein yang lembut
h)
Laporkan adanya serangan pada kerabat terdekatnya. Ini penting untuk pemberian
pengobatan oleh dokter.
Penanganan
terhadap penyakit ini bukan saja menyangkut penanganan medikamentosa dan
perawatan belaka, namun yang lebih penting adalah bagaimana
meminimalisasikan dampak yang muncul akibat penyakit ini bagi penderita
dan keluarga maupun merubah stigma masyarakat tentang penderita epilepsi.
2.8.
Pencegahan
Upaya
sosial luas yang menggabungkan tindakan luas harus ditingkatkan untuk
pencegahan epilepsi. Resiko epilepsi muncul pada bayi dari ibu yang menggunakan
obat antikonvulsi (konvulsi: spasma atau kekejangan kontraksi otot yang keras
dan terlalu banyak, disebabkan oleh proses pada system saraf pusat, yang
menimbulkan pula kekejangan pada bagian tubuh) yang digunakan sepanjang
kehamilan. Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama yang dapat
dicegah. Melalui program yang memberi keamanan yang tinggi dan tindakan
pencegahan yang aman, yaitu tidak hanya dapat hidup aman, tetapi juga
mengembangkan pencegahan epilepsi akibat cedera kepala. Ibu-ibu yang mempunyai
resiko tinggi (tenaga kerja, wanita dengan latar belakang sukar melahirkan,
pengguna obat-obatan, diabetes, atau hipertensi) harus di identifikasi dan
dipantau ketat selama hamil karena lesi pada otak atau cedera akhirnya
menyebabkan kejang yang sering terjadi pada janin selama kehamilan dan
persalinan.
Program
skrining untuk mengidentifikasi anak gangguan kejang pada usia dini, dan
program pencegahan kejang dilakukan dengan penggunaan obat-obat anti konvulsan
secara bijaksana dan memodifikasi gaya hidup merupakan bagian dari rencana
pencegahan ini.
2.9.
Pengobatan
Pengobatan
epilepsi adalah pengobatan jangka panjang. Penderita akan diberikan obat
antikonvulsan untuk mengatasi kejang sesuai dengan jenis serangan. Penggunaan
obat dalam waktu yang lama biasanya akan menyebabkan masalah dalam kepatuhan minum
obat (compliance) seta beberapa efek samping yang mungkin timbul seperti
pertumbuhan gusi, mengantuk, hiperaktif, sakit kepala, dll.
Penyembuhan
akan terjadi pada 30-40% anak dengan epilepsi. Lama pengobatan tergantung jenis
epilepsi dan etiologinya. Pada serangan ringan selama 2-3th sudah cukup, sedang
yang berat pengobatan bisa lebih dari 5th. Penghentian pengobatan selalu harus
dilakukan secara bertahap. Tindakan pembedahan sering dipertimbangkan bila
pengobatan tidak memberikan efek sama sekali.
Penanganan
terhadap anak kejang akan berpengaruh terhadap kecerdasannya. Jika terlambat
mengatasi kejang pada anak, ada kemungkinan penyakit epilepsi, atau bahkan
keterbalakangan mental. Keterbelakangan mental di kemudian hari. Kondisi yang
menyedihkan ini bisa berlangsung seumur hidupnya.
Pada
epilepsi umum sekunder, obat-obat yang menjadi lini pertama pengobatan adalah
karbamazepin dan fenitoin. Gabapentin, lamotrigine, fenobarbital, primidone,
tiagabine, topiramate, dan asam valproat digunakan sebagai pengobatan lini
kedua. Terapi dimulai dengan obat anti epilepsi garis pertama. Bila plasma
konsentrasi obat di ambang atas tingkat terapeutis namun penderita masih kejang
dan AED tak ada efek samping, maka dosis harus ditingkatkan. Bila perlu
diberikan gabungan dari 2 atau lebih AED, bila tak mempan diberikan AED tingkat
kedua sebagai add on.11
Fenitoin
(PHT)
Fenitoin
dapat mengurangi masuknya Na ke dalam neuron yang terangsang dan
mengurangi amplitudo dan kenaikan maksimal dari aksi potensial saluran Na peka
voltase fenitoin dapat merintangi masuknya Ca ke dalam neuron pada pelepasan
neurotransmitter.11
Karbamazepin
(CBZ)
Karbamazepin
dapat menghambat saluran Na . Karbamazepin dapat memperpanjang
inaktivasi saluran Na .juga menghambat masuknya Ca ke
dalam membran sinaptik.11
Fenobarbital
(PB)
Fenobarbital
adalah obat yang digunakan secara luas sebagai hipnotik, sedatif dan anastetik.
Fenobarbital bekerja memperkuat hambatan GABAergik dengan cara mengikat ke sisi
kompleks saluran reseptor Cl- pada GABAA. Pada tingkat
selular, fenobarbital memperpanjang potensial penghambat postsinaptik, bukan
penambahan amplitudonya. Fenobarbital menambah waktu buka jalur Cl-
dan menambah lamanya letupan saluran Cl- yang dipacu oleh GABA.
Seperti fenitoin dan karbamazepin, fenobarbital dapat memblokade aksi potensial
yang diatur oleh Na . Fenobarbital mengurangi pelepasan
transmitter dari terminal saraf dengan cara memblokade saluran Ca peka voltase.11
Asam
valproat (VPA)
VPA
menambah aktivitas GABA di otak dengan cara menghambat GABA-transaminase dan
suksinik semialdehide dehidrogenase, enzim pertama dan kedua pada jalur
degradasi, dan aldehide reduktase.
VPA
bekerja pada saluran Na peka voltase, dan menghambat letupan
frekuensi tinggi dari neuron.
VPA
memblokade rangsangan frekuensi rendah 3Hz dari neuron thalamus.11
Gabapentin
(GBP)
Cara
kerja: mengikat pada reseptor spesifik di otak, menghambat saluran Na peka
voltase, dapat menambah pelepasan GABA.11
Lamotrigin
(LTG)
Cara
kerja: Menghambat saluran Na peka voltase.11
Topiramate
(TPM)
Cara
kerja: Menghambat saluran Na , menambah kerja hambat dari GABA.11
Tiagabine
(TGB)
Cara
kerja: menghambat kerja GABA dengan cara memblokir uptake-nya.
Selain
pemilihan dan penggunaan optimal dari AED, harus diingat akan efek jangka
panjang dari terapi farmakologik. Karbamazepin, fenobarbital, fenitoin,
primidone, dan asam valproat dapat menyebabkan osteopenia, osteomalasia, dan
fraktur. Fenobarbital dan primidone dapat menyebabkan gangguan jaringan ikat,
mis frozen shoulder da kontraktur Dupuytren. Fenitoin dapat menyebabkan
neuropati perifer. Asam valproat dapat menyebabkan polikistik ovari dan
hiperandrogenisme.
2.10.
Prognosis
Prognosis
epilepsi bergantung pada beberapa hal, di antaranya jenis epilepsi faktor penyebab,
saat pengobatan dimulai, dan ketaatan minum obat. Pada umumnya prognosis
epilepsi cukup menggembirakan. Pada 50-70% penderita epilepsi serangan dapat
dicegah dengan obat-obat, sedangkan sekitar 50 % pada suatu waktu akan dapat
berhenti minum obat. Serangan epilepsi primer, baik yang bersifat kejang umum
maupun serangan lena atau melamun atau absence mempunyai prognosis terbaik.
Sebaliknya epilepsi yang serangan pertamanya mulai pada usia 3 tahun atau yang
disertai kelainan neurologik dan atau retardasi mental mempunyai prognosis
relatif jelek.
BAB
III
ASUHAN
KEPERAWATAN
3.1.
Pengkajian
a)
Biodata : Nama ,umur, seks, alamat, suku, bangsa, pendidikan, pekerjaan, dan
penanggungjawabnya.
Usia:
Penyakit epilepsi dapat menyerang segala umur
Pekerjaan:
Seseorang dengan pekerjaan yang sering kali menimbulkan stress dapat memicu
terjadinya epilepsi.
Kebiasaan
yang mempengaruhi: peminum alcohol (alcoholic)
b)
Keluhan utama: Untuk keluhan utama, pasien atau keluarga biasanya ketempat
pelayanan kesehatan karena klien yang mengalami penurunan kesadaran secara
tiba-tiba disertai mulut berbuih. Kadang-kadang klien / keluarga mengeluh
anaknya prestasinya tidak baik dan sering tidak mencatat. Klien atau keluarga
mengeluh anaknya atau anggota keluarganya sering berhenti mendadak bila diajak
bicara.
c)
Riwayat penyakit sekarang: kejang, terjadi aura, dan tidak sadarkan diri.
d)
Riwayat penyakit dahulu:
-
Trauma lahir, Asphyxia neonatorum
-
Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf
-
Ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)
-
Tumor Otak
-
Kelainan pembuluh darah
-
demam,
-
stroke
-
gangguan tidur
-
penggunaan obat
-
hiperventilasi
-
stress emosional
e)
Riwayat penyakit keluarga: Pandangan yang mengatakan penyakit ayan merupakan
penyakit keturunan memang tidak semuanya keliru, sebab terdapat dugaan terdapat
4-8% penyandang ayan diakibatkan oleh faktor keturunan.
f)
Riwayat psikososial
-
Intrapersonal : klien merasa cemas dengan kondisi penyakit yang diderita.
-
Interpersonal : gangguan konsep diri dan hambatan interaksi sosial yang
berhubungan dengan penyakit epilepsi (atau “ayan” yang lebih umum di
masyarakat).
g)
Pemeriksaan fisik (ROS)
1)
B1 (breath): RR biasanya meningkat (takipnea) atau dapat terjadi apnea,
aspirasi
2)
B2 (blood): Terjadi takikardia, cianosis
3)
B3 (brain): penurunan kesadaran
4)
B4 (bladder): oliguria atau dapat terjadi inkontinensia urine
5)
B5 (bowel): nafsu makan menurun, berat badan turun, inkontinensia alfi
6)
B6 (bone): klien terlihat lemas, dapat terjadi tremor saat menggerakkan
anggota tubuh, mengeluh meriang
h)
Analisis Data
Data
|
Etiologi
|
Masalah
Keperawatan
|
DS:
DO:
pasien kejang (kaki menendang- nendang, ekstrimitas atas fleksi), gigi geligi
terkunci, lidah menjulur
|
perubahan
aktivitas listrik di otak
Keseimbangan
terganggu
gerakan
tidak terkontrol
|
Resiko
cedera
|
DS:
sesak,
DO:apnea,
cianosis
|
gangguan
nervus V, IX, X
lidah
melemah
menutup
saluran trakea
Adanya
obstruksi
|
Bersihan
jalan napas tidak efektif
|
DS:
terjadi aura (mendengar bunyi yang melengking di telinga, bau- bauan, melihat
sesuatu), halusinasi, perasaan bingung, melayang2.
DO:
penurunan respon terhadap stimulus, terjadi salah persepsi
|
Terjadi
depolarisasi berlebih
Bangkitan
listrik di bagian otak serebrum
Menyebar
ke nervus- nervus
Mempengaruhi
aktivitas organ sensori persepsi
|
Gangguan
persepsi sensori
|
DS:
klien terlihat rendah diri saat berinteraksi dengan orang lain
DO:menarik
diri
|
Stigma
masyarakat yang buruk tentang penyakit epilepsi atau ”ayan”
Klien
merasa rendah diri
Menarik
diri
|
Isolasi
sosial
|
DS:
klien terlihat cemas, gelisah.
DO:
takikardi, frekuensi napas cepat atau tidak teratur
|
Terjadi
kejang epilepsi
Kurang
pengetahuan tentang kondisi penyakit
Bingung
|
Ansietas
|
DS:
pasien mengeluh sesak
DO:
RR meningkat dan tidak teratur,
|
Terjadi
bangkitan listrik di otak
Menyebar
ke daerah medula oblongata
Mengganggu
pusat respiratori
Mempengaruhi
pola napas
|
Ketidakefektifan
pola napas
|
DS:
klien merasa lemas, klien mengeluh cepat lelah saat melakukan aktivitas
DO:takikardi,
takipnea,
|
terjadi
bangkitan listrik di otak
menyebar
ke MO
mengganggu
pusat kardiovaskular
takikardia
CO
menurun
Suplai
darah (O2) ke jaringan menurun
metabolisme
aerob menjadi anaerob
ATP
dari 38 menjadi 2
kelelahan
intoleransi
aktifitas
|
Intoleransi
aktivitas
|
DS:
pasien menunjukkan kelelahan, diam, tidak banyak bergerak
DO:
penurunan kesadaran, penurunan kemampuan persepsi sensori, tidak ada reflek
|
CO menurun
Suplai
darah ke otak berkurang
Iskemia
jaringan serebral (O2 tidak adekuat)
|
Resiko
penurunan perfusi serebral
|
3.2.
Diagnosa Keperawatan
1)
Resiko cedera b.d aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan
keseimbangan).
2)
Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan lidah di
endotrakea, peningkatan sekresi saliva
3)
Isolasi sosial b.d rendah diri terhadap keadaan penyakit dan stigma buruk
penyakit epilepsi dalam masyarakat
4)
Ketidakefektifan pola napas b.d dispnea dan apnea
5)
Intoleransi aktivitas b.d penurunan kardiac output, takikardia
6)
Gangguan persepsi sensori b.d gangguan pada nervus organ sensori persepsi
7)
Ansietas b.d kurang pengetahuan mengenai penyakit
8)
Resiko penurunan perfusi serebral b.d penurunan suplai oksigen ke otak
3.3.
Intervensi dan rasional
1)
Resiko cedera b.d aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan
keseimbangan).
Tujuan
: Klien dapat mengidentifikasi faktor presipitasi serangan dan dapat
meminimalkan/menghindarinya, menciptakan keadaan yang aman untuk klien,
menghindari adanya cedera fisik, menghindari jatuh
Kriteria
hasil : tidak terjadi cedera fisik pada klien, klien dalam kondisi aman, tidak
ada memar, tidak jatuh
Intervensi
|
Rasional
|
Observasi:
Identivikasi
factor lingkungan yang memungkinkan resiko terjadinya cedera
|
Barang-
barang di sekitar pasien dapat membahayakan saat terjadi kejang
|
Pantau
status neurologis setiap 8 jam
|
Mengidentifikasi
perkembangan atau penyimpangan hasil yang diharapkan
|
Mandiri
Jauhkan
benda- benda yang dapat mengakibatkan terjadinya cedera pada pasien saat
terjadi kejang
|
Mengurangi
terjadinya cedera seperti akibat aktivitas kejang yang tidak terkontrol
|
Pasang
penghalang tempat tidur pasien
|
Penjagaan
untuk keamanan, untuk mencegah cidera atau jatuh
|
Letakkan
pasien di tempat yang rendah dan datar
|
Area
yang rendah dan datar dapat mencegah terjadinya cedera pada pasien
|
Tinggal
bersama pasien dalam waktu beberapa lama setelah kejang
|
Memberi
penjagaan untuk keamanan pasien untuk kemungkinan terjadi kejang kembali
|
Menyiapkan
kain lunak untuk mencegah terjadinya tergigitnya lidah saat terjadi kejang
|
Lidah
berpotensi tergigit saat kejang karena menjulur keluar
|
Tanyakan
pasien bila ada perasaan yang tidak biasa yang dialami beberapa saat sebelum
kejang
|
Untuk
mengidentifikasi manifestasi awal sebelum terjadinya kejang pada pasien
|
Kolaborasi:
Berikan
obat anti konvulsan sesuai advice dokter
|
Mengurangi
aktivitas kejang yang berkepanjangan, yang dapat mengurangi suplai oksigen ke
otak
|
Edukasi:
Anjurkan
pasien untuk memberi tahu jika merasa ada sesuatu yang tidak nyaman, atau
mengalami sesuatu yang tidak biasa sebagai permulaan terjadinya kejang.
|
Sebagai
informasi pada perawat untuk segera melakukan tindakan sebelum terjadinya
kejang berkelanjutan
|
Berikan
informasi pada keluarga tentang tindakan yang harus dilakukan selama pasien
kejang
|
Melibatkan
keluarga untuk mengurangi resiko cedera
|
2)
Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan lidah di
endotrakea, peningkatan sekresi saliva
Tujuan
: jalan nafas menjadi efektif
Kriteria
hasil : nafas normal (16-20 kali/ menit), tidak terjadi aspirasi, tidak ada
dispnea
Intervensi
|
Rasional
|
Mandiri
Anjurkan
klien untuk mengosongkan mulut dari benda / zat tertentu / gigi palsu atau
alat yang lain jika fase aura terjadi dan untuk menghindari rahang mengatup
jika kejang terjadi tanpa ditandai gejala awal.
Letakkan
pasien dalam posisi miring, permukaan datar
Tanggalkan
pakaian pada daerah leher / dada dan abdomen
Melakukan
suction sesuai indikasi
Kolaborasi
Berikan
oksigen sesuai program terapi
|
menurunkan
resiko aspirasi atau masuknya sesuatu benda asing ke faring.
meningkatkan
aliran (drainase) sekret, mencegah lidah jatuh dan menyumbat jalan nafas
untuk
memfasilitasi usaha bernafas / ekspansi dada
Mengeluarkan
mukus yang berlebih, menurunkan resiko aspirasi atau asfiksia.
Membantu
memenuhi kebutuhan oksigen agar tetap adekuat, dapat menurunkan hipoksia
serebral sebagai akibat dari sirkulasi yang menurun atau oksigen sekunder
terhadap spasme vaskuler selama serangan kejang.
|
3)
Isolasi sosial b.d rendah diri terhadap keadaan penyakit dan stigma buruk
penyakit epilepsi dalam masyarakat
Tujuan:
mengurangi rendah diri pasien
Kriteria
hasil:
-
adanya interaksi pasien dengan lingkungan sekitar
-
menunjukkan adanya partisipasi pasien dalam lingkungan masyarakat
Intervensi
|
Rasional
|
Observasi:
Identifikasi
dengan pasien, factor- factor yang berpengaruh pada perasaan isolasi sosial
pasien
|
Memberi
informasi pada perawat tentang factor yang menyebabkan isolasi sosial pasien
|
Mandiri
Memberikan
dukungan psikologis dan motivasi pada pasien
|
Dukungan
psikologis dan motivasi dapat membuat pasien lebih percaya diri
|
Kolaborasi:
Kolaborasi
dengan tim psikiater
|
Konseling
dapat membantu mengatasi perasaan terhadap kesadaran diri sendiri.
|
Rujuk
pasien/ orang terdekat pada kelompok penyokong, seperti yayasan epilepsi dan
sebagainya.
|
Memberikan
kesempatan untuk mendapatkan informasi, dukungan ide-ide untuk mengatasi
masalah dari orang lain yang telah mempunyai pengalaman yang sama.
|
Edukasi:
Anjurkan
keluarga untuk memberi motivasi kepada pasien
|
Keluarga
sebagai orang terdekat pasien, sangat mempunyai pengaruh besar dalam keadaan
psikologis pasien
|
Memberi
informasi pada keluarga dan teman dekat pasien bahwa penyakit epilepsi tidak
menular
|
Menghilangkan
stigma buruk terhadap penderita epilepsi (bahwa penyakit epilepsi dapat
menular).
|
3.4.
Evaluasi
1)
Pasien tidak mengalami cedera, tidak jatuh, tidak ada memar
2)
Tidak ada obstruksi lidah, pasien tidak mengalami apnea dan aspirasi
3)
Pasien dapat berinteraksi kembali dengan lingkungan sekitar, pasien tidak
menarik diri (minder)
4)
Pola napas normal, TTV dalam batas normal
5)
Pasien toleran dengan aktifitasnya, pasien dapat melakukan aktifitas sehari-
hari secara normal
6)
Organ sensori dapat menerima stimulus dan menginterpretasikan dengan normal
7)
Ansietas pasien dan keluarga berkurang, pasien tampak tenang
8)
Status kesadaran pasien membaik
BAB
IV
PENUTUP
4.1.
Kesimpulan
Epilepsi
adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang berulang akibat
lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersivat reversibel (Tarwoto,
2007). Epilepsi juga merupakan gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya
gejala-gejala yang datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang
disebabkan lepas muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat
reversibel dengan berbagai etiologi (Arif, 2000).
Epilepsi
dapat menyerang anak-anak, orang dewasa, para orang tua bahkan bayi yang baru
lahir. Angka kejadian epilepsi pada pria lebih tinggi dibandingkan pada wanita,
yaitu 1-3% penduduk akan menderita epilepsi seumur hidup. Di Amerika Serikat,
satu di antara 100 populasi (1%) penduduk terserang epilepsi, dan kurang lebih
2,5 juta di antaranya telah menjalani pengobatan pada lima tahun terakhir.
Menurut World Health Organization (WHO) sekira 50 juta penduduk di
seluruh dunia mengidap epilepsi.
Pengklasifikasian
epilepsi atau kejang ada dua macam, yaitu epilepsi parsial dan epilepsi grandmal.
Epilepsi parsial dibedakan menjadi dua, yaitu epilepsi parsial sederhana dan
epilepsi parsial kompleks. Epilepsi grandmal meliputi epilepsi tonik, klonik,
atonik, dan myoklonik. Epilepsi tonik adalah epilepsi dimana keadaannya
berlangsung secara terus-menerus atau kontinyu. Epilepsi klonik adalah epilepsi
dimana terjadi kontraksi otot yang mengejang. Epilepsi atonik merupakan
epilepsi yang tidak terjadi tegangan otot. Sedangkan epilepsi myoklonik adalah
kejang otot yang klonik dan bisa terjadi spasme kelumpuhan.
4.2.
Saran
Setelah
penulisan makalah ini, kami mengharapkan masyarakat pada umumnya dan mahasiswa
keperawatan pada khususnya mengetahui pengertian, tindakan penanganan awal,
serta mengetahui asuhan keperawatan pada klien dengan epilepsi. Oleh karena
penyandang epilepsi sering dihadapkan pada berbagai masalah psikososial yang
menghambat kehidupan normal, maka seyogyanya kita memaklumi pasien dengan
gangguan epilepsi dengan cara menghargai dan menjaga privasi klien tersebut.
Hal itu dilaksanakan agar pasien tetap dapat bersosialisasi dengan masyarakat
dan tidak akan menimbulkan masalah pasien yang menarik diri.
Judul: ASUHAN KEPERAWATAN (ASKEP) EPILEPSI
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Ditulis Oleh 10/22/2012 04:42:00 AM
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Ditulis Oleh 10/22/2012 04:42:00 AM
0 comments:
Post a Comment
berkomtarlah dengan sopan, baik dan benar
thank's